RI...rii….riii,” Usamuddin begitu semangat memanggil bebek-bebeknya. Pintu dibuka, dan segera saja puluhan ekor bebek air tersebut berlarian menuju sebuah lapangan terbuka yang hanya berjarak 10 meter dari kandang. Berdesakan dan saling himpit, bebek-bebek berebut makanan yang telah tersedia dalam wadah panjang membentuk persegi.Begitulah keseharian Usamuddin. Saban sore, pensiunan karyawan PTPN IV Bah Jambi, Kabupaten Simalungun ini, menyibukkan diri mengurus 140 ekor bebeknya di lahan yang dulunya bekas kandang lembu di samping kediamannya di Desa Bah Jambi I, Kecamatan Jawa Maraja.Sejak pensiun tiga tahun lalu, Usam—begitu ia biasa disapa, memfokuskan diri mengelola bisnis barunya tersebut. “Kini saya beralih ke ternak bebek,” kata Usam kepada PinbisMedia.Selama ini, Usam dikenal sebagai peternak lembu.
Sejak manajemen PTPN IV Bah Jambi mengeluarkan kebijakan larangan ternak masuk lahan sawit lima bulan lalu, perlahan ia mulai beringsut. Usam harus memutar otak bagaimana agar hobbi beternak yang sudah ia jalani sejak kecil, bisa tetap berjalan. Kemudian, lahirlah ide berternak bebek. “Dulu lembu-lembu saya berjumlah 30 ekor, kini tinggal 12 ekor. Saya jual satu per satu,” sebutnya. Kini, untuk mengurus 12 ekor lembu yang tersisa, ia mempekerjakan 3 orang dengan sistem bagi hasil.Bagi Usam, itu bukan menjadi masalah. Buktinya ia cukup bersemangat melakoni usaha barunya saat ini. “Bebek-bebek saya sekarang baru berusia empat bulan. Mungkin dua atau tiga minggu lagi baru akan memproduksi telur pertamanya,” ujar Usam yang kini sudah menginjak usia 59 tahun.
Untuk beberapa waktu ini, Usam hanya memanfaatkan telur-telur bebek dan menjualnya ke pasar. Baru, setelah melewati tiga kali periode bertelur, dia akan menjual bebek-bebeknya ke pasar. “Saya mempunyai target, telur perdana ini mencapai 100 butir per minggu,” tandasnya.PakanSoal pakan ternak, Usam tidak begitu ambil pusing. Untuk mengatasi pengeluaran terbesar yang biasa datang dari pembelian pakan, ia menggantikannya dengan yang lebih ekonomis yakni menggunakan kombinasi dedak dan lumut atau ganggang. Selama ini, ia setidaknya mengeluarkan biaya sebesar Rp.68.000 per hari untuk pembelian ampas tahu 1 goni ukuran 10 kg, 10 kg dedak dan 6 kg pelet. “Sekarang saya hanya mengeluarkan uang sebesar Rp.75.000 per minggu untuk pakan,” ujar Usam.Rahasianya, Usam mencampur 2 goni lumut dengan 40 kg dedak. “Ternyata pakan ini cukup membuat bebek-bebek saya sehat,” kata Usam.
Namun, yang menjadi masalah bagi Usam saat ini adalah ia kekurangan bebek pejantan. Dari 140 ekor bebek yang ia miliki hanya 6 di antaranya pejantan. Idealnya, perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 7. “Sekarang saya harus beli pejantan lagi,” katanya. Ia biasa membeli anak bebek di pasar seharga Rp.7.000 per ekor untuk usia 11 hari dan Rp.6.500 per ekor untuk usia 4-6 hari.Selain itu ia sering mendengar keluhan beberapa peternak bebek lain di desanya tentang rentannya penyakit menyerang bebek mereka, seperti kelumpuhan yang biasa terjadi pada bebek yang berlama-lama berada di air. “Memang namanya bebek air, tapi upayakan jauh dari air, apalagi hujan,” sebutnya.Bagi Usam yang tidak begitu percaya terhadap antibiotik, dia lebih suka bereksperimen manakala penyakit menyerang bebek-bebeknya. Seperti ketika penyakit kutil menyerang pelipis mata bebek, dia cukup menyediakan pasir di sekitar kandang. “Bebek-bebek itu akan secara alami menggesek-gesekkan pelipis matanya ke pasir. Lama-lama saya lihat kutil di pelipis matanya hilang,” ceritanya.
Fachriz Tanjung - pinbis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar